Friday, March 26, 2010

entrepreneurs and innovation

dulu, aku memang punya paradigma bahwa pekerjaan wiraswasta itu sangat beresiko dan gak aman. sehingga dulu aku selalu aja tidak pernah menjadikan pilihan untuk menjadi seorang entrepreneur sebagai pekerjaanku nantinya.

tapi semua orang bisa salah. apalagi orang seperti aku. haha.

semakin aku belajar, semakin aku mengerti, semakin aku dapat merubah paradigma ku tentang entrepreneurship. semakin aku mengagumi orang-orang yang menjadi entrepreneur ini. apalagi, jika mereka sangat kreatif dan melakukan inovasi berkelanjutan.

kemiskinan di indonesia merupakan masalah yang sudah menjadi sahabat kita sehari-hari. kita cuman terkadang hanya menutup mata ketika tidak merasa kasihan melihat anak-anak jalanan atau kakek-kakek yang membawa gerobak berat berkeliaran di sekitar kita. aku termasuk orang yang sangat sensitif melihat hal-hal seperti ini. pernah suatu sore, ketika sma atau smp, lupa tepatnya kapan.. saat itu hari sedang hujan..aku sedang makan di McDonalds dengan nikmatnya, lalu di luar McDonalds ada seorang bapak tua yang menjual makanan ringan entah apa namanya.. makanan itu masih banyak.. sepertinya memang tidak ada yang membeli.. aku terdiam.. tiba-tiba air mataku keluar begitu saja.

kesulitan ekonomi menjadi suatu momok yang sangat menggangu dalam kesehatan hidup kita baik secara fisik maupun mental. tapi aku percaya bahwa hal ini sebenarnya dapat diatasi.

dalam kepercayaan yang aku yakini, kami semua yang sudah memiliki penghasilan wajib untuk membayar zakat. yaitu sebagian harta yang besarnya sudah ditentukan untuk diberikan kepada mustahik zakat atau sekelompok orang yang berhak menerimanya.. diantaranya adalah kelompok fakir dan kelompok miskin.. menurutku, jika zakat seluruh orang Indonesia benar-benar disalurkan dengan baik pastilah kemiskinan dapat terasa lebih mudah diperangi.

kemudian, istilah Corporate Social Responsibility yang juga menarik perhatianku beberapa periode terakhir ini juga sebenarnya dapat menjadi salah satu cara untuk memerangi kemiskinan dan ketidak berdayaan orang-orang kecil, terutama yang berada di desa atau di pinggir kota. dengan CSR ini, membuka peluang yang sangat besar tidak hanya bagi orang-orang miskin untuk terbantu, tapi juga bagi sektor lain yang semula tidak tersentuh bantuan dalam hal pembiayaannya seperti industri kreatif misalnya.

tapi hal-hal yang kusebutkan di atas tidak akan berjalan sempurna, jika kita sendiri takut untuk memerangi kemiskinan. takut untuk berjuang. dan masih terlalu konsumtif. sudah bukan rahasia dunia lagi, jika Indonesia merupakan salah satu negara big market size, dimana terdapat pasar yang sangat besar yang rela membeli apapun dengan berapapun harganya asalkan barang tersebut dapat menaikkan harga dirinya atau status sosialnya di mata masyarakat. hal ini yang sebenarnya sering kali ku sesali.. tidak seharusnya kita terbudaki oleh hawa nafsu menjadi terlalu konsumtif karena itu sama saja membunuh diri kita pelan-pelan.

entrepreneurship memang istilah yang tidak akrab di telinga anak-anak Indonesia. jika kita tanya kepada 10 orang anak SD saja misalnya.. apa cita-cita mereka?..
aku yakin, jawaban 8 orang dari mereka adalah:
dokter..
insinyur..
astronot..
polisi..
mungkin hanya 2 orang yang akan menjawab:
pelukis..
atau penari..
tapi masih sangat jarang anak yang mengetahui pekerjaan entrepreneur atau wiraswasta.

sejak kecil kita selalu saja dicekok oleh pandangan-pandangan mengenai pekerjaan yang baik itu adalah "bekerja pada orang" atau menjadi "pegawai".. buktinya, kita selalu diperintah. selalu diberi tugas. selalu diberi materi pelajaran tanpa benar-benar memahami apa filosofis dari keseluruhan pelajaran tersebut. kita hanya diperintah, lalu kita melaksanakan perintah itu. maka baguslah nilai kita.. dan kita merasa bahwa kita sudah yang paling benar.

akibat dari hal diatas, anak-anak ini tumbuh menjadi orang yang penakut. penakut untuk memulai hal baru, penakut untuk menghadapi berbagai risiko yang tidak jelas dan absurd. karena selama ini kita selalu disuapi.. sulit sekali kita memiliki pikiran untuk membuat sesuatu yang baru yang belum pernah ada.

Apa yang dapat kita lakukan?

merubah paradigma kita mengenai entrepreneurs dan inovasi. dua hal ini menurutku, merupakan kunci utama dalam perbaikan ekonomi di indonesia. mari kita bersama-sama tanamkan pada diri kita bahwa kita harus membuat lapangan kerja baru, bukannya malah berebutan mencari pekerjaan yang kuota nya hanya segitu-gitu saja. guest lecture matkul venture capital kemarin membuka pikiranku semakin lebar lagi.. pak Ubaydillah mengatakan bahwa membuka usaha yang sungguh-sungguh tidak akan pernah gagal. 100% tidak akan pernah gagal. kuncinya adalah tidak boleh main-main dan tidak boleh konsumtif. ada quotes yang menarik yang beliau sampaikan mengenai konsumtif ini..
"iya, kalo jadi pengusaha.. jangan baru bisa beli motor tapi udah mau beli BMW aja.. ya gagal lah udah itu.."

perkembangan UMKM menjadi hal yang vital sebenarnya. investor yang sudah kebanyakan duit itu membutuhkan pengusaha-pengusaha yang memiliki komitmen tinggi dan inovasi yang berkelanjutan dalam usahanya untuk mengelola uang-uang yang mereka miliki.. sementara pengusaha-pengusaha itu membutuhkan modal untuk terus mengembangkan bisnis atau usahanya..

semakin jelas buatku, bahwa aku ingin menjadi pengusaha.. aku ingin memiliki usahaku sendiri supaya bisa membuka lapangan pekerjaan buat orang lain nantinya. saat ini, aku berdoa supaya jalanku kesana.. akan lancar..
mengenai apa bidang usaha yang akan kulakoni.. itu aku masih belum tau.. banyak hal yang kusukai.. dan itu semua merupakan ide yang cukup baik.

aku berdoa semoga semakin banyak orang Indonesia yang tidak takut untuk mencoba membuka usaha sendiri. aku juga berdoa semoga semakin banyak orang Indonesia yang mulai meninggalkan kebiasaan konsumtif mereka (termasuk diriku)

amiiin.

Monday, March 15, 2010

pissed off

kesal. benci. ingin marah.
hari ini dibuka dengan kekesalan tingkat tinggi karena menelepon.
arrrrggggh. saking kesalnya sampai menangis. sebal sekali.
heran, setiap kali dapet cobaan kayak gini, pasti selalu iri.. selalu iri sama orang-orang yang lagi hepi..yang lagi ga susah-susah belajar.. atau ga lagi susah-susah bikin ta.

"ya Tuhan. tolongin sayaa. tolong pejamkan mata saya terhadap keirian ini. tolong tutup kuping saya dari suara-suara menggoda itu. tolong teguhkan hati saya.

baru gini aja, saya sudah menangis Tuhan. bagaimana nasib saya nanti."


aku ingin bisa seperti ikan yang selalu berenang dengan tenang..
apa rasanya yaa jadi ikan.. kerjaannya makan, berenang, makan, berenang, kawin, berenang, bobo... hmmmmmm
enak bgt yaa...

*astaga. kayaknya saya sudah mulai sindrom gila mahasiswa tingkat akhir.*

Wednesday, March 10, 2010

idiots who have a faith

yeah, i just watched that famous 3 idiots. bollywood movie.
i know, it's soooo last year for me to talk about that movie.
but it's no so last year to talk about the message of the movie.

it tells us a lot.
especially

to become whatever who you wanna be.
and don't afraid.
to catch what you are really want.

jujur, hari ini aku sedih sekali..
yah biasalah. hidup manusia yang penuh masalah.
sepertinya memang masalah akan selalu ada.
yaaah..
film ini amat sangat menghibur..
walaupun memang itu hanya film.
tapi aku harap, semangat itu akan benar-benar ada... semangat untuk menjadi apa yang kita inginkan.. :)

semoga apapun yang terjadi.
kita akan tetap bisa menjelang hari.

'aal iz well'

Thursday, March 4, 2010

my another short story

i published this to see some effects..

Jika Aku Bisa Mengulang Waktu

“So what???”
“Ya kamu makan dong. Biar ga sakit.”
“Hhhh, udah lah. Stop it, please.”
“....., Terserah kamu deh, yang penting kamu makan. Sekarang udah jam 12 lebih 20 menit. Jangan telat makan lagi nanti maag kamu kambuh. Ini kamu makan.”
Seraya menyerahkan sebungkus nasi di tanganku.
“Seriously. Ga usah, Jan.”
“Kamu makan... Ya?”
Aku paling ga suka diperintah-perintah. Apalagi sama dia. Orang yang aku sangat ga suka. Januar adalah orang yang tanpa henti-hentinya memberikan perhatian dan sudah setahun ini mendekati aku. Sejujurnya aku gak suka. Sangat gak suka. Bukan karena apa-apa. Hanya saja perhatian yang diberikan oleh Januar terlalu berlebihan menurutku. Dan aku gak suka dia terlalu memberikan perhatian. Rasanya seperti terintimidasi. Apabila banyak perempuan yang sangat merasa tersanjung dari perhatian yang diberikan oleh laki-laki, maka aku justru merasa terintimidasi. Aku merasa mereka (laki-laki itu) terlalu ikut campur urusanku.

Mungkin karena itu, aku hingga kini masih lajang. Tapi aku tidak perduli. Aku menikmati kesendirianku. Aku menikmati hidup bersama teman-temanku. Aku hanya ingin bebas, tanpa harus memiliki kewajiban untuk peduli pada orang lain yang bukan keluargaku. Aku tidak pernah berniat berkomitmen dengan siapapun. Inilah alasanku, cukup simpel. Aku hanya belum ingin membagi perhatianku untuk orang lain. Lagipula aku tidak suka orang lain memperhatikanku. Terserah kau mau bilang aku aneh atau apa. Tapi beginilah aku.

Januar ini entah kenapa ga ada capek-capeknya ngejer aku. Maksudku, dia cukup teguh dengan niatnya dalam mengejar seorang perempuan yang gak pernah sekalipun membalas perhatian ataupun menunjukkan rasa senang akan kehadiran orang ini. Sebulan setelah tiba-tiba dia minta kenalan di toko buku Cosmic Lights langgananku, dia tiba-tiba muncul di facebook minta di confirm. Awalnya aku bingung, siapa pula orang itu, Januar Prapanca, kayanya gak pernah kenal nama seperti itu. Mana gak ada mutual friend. Untungnya dia menyertakan sebuah pesan: ‘remember me, from the corner of CL? Someone who suddenly asked your name. Confirm me pls, i really interested at you.’.
Entah ada angin apa, atau kesambet setan mana, tapi aku mengklik confirm saat itu, dan jadilah kemudian berlanjut dengan sms, telpon, ketemuan. Yah, intinya aku juga sedikit berusaha mengenal dia sebagai teman pada awalnya. Karena sebenarnya dia itu emang menyenangkan dan lumayan tampan. Tapi dari awal aku sudah tidak ingin untuk membawa ini semua ke arah itu. Jadi aku berusaha menghindari dia sejak 3 bulan kami kenal, tapi yaitulah sampai sekarang Januar masih tetap menelponku, meng-sms ku, memperhatikan aku. Itu semua terlalu berlebihan. Aku mulai lelah, dan lama kelamaan dari penolakan halus yang aku lakukan hingga sempat aku meneriaki dia, membentak dia pun pernah kulakukan. Tapi Januar begitu teguh. Kini, aku berusaha untuk menganggap dia tidak ada saja. Tapi rasanya tidak mungkin.

“JAN!!!!!!”
“I just wanna make sure, that you eat this stuff.”
“Jan, aku udah gede. Bukan kayak anak kecil lagi. Berapa juta kali sih aku harus jelasin ini ke kamu. Sekarang kamu jangan ganggu aku deh Jan. Kamu pergi aja sana! Kamu tau gak? Kamu itu udah bikin hidup aku ga tenang, kamu itu udah bikin aku sesek. Kamu tu kayak ga punya kegiatan lain apa yaa?! Pokoknya Aku ga mau ngeliat muka kamu lagi selamanya. Ngerti!!!!!”
Aku mengusirnya. Dengan kasar. Aku membentaknya. Dengan kasar. Aku belum pernah sekasar ini sama orang lain. Aku sendiri gak ngerti kenapa sampai hati aku melakukan ini sama orang yang paling sering meneleponku, yang paling sering menanyakan kabarku, yang paling memperhatikanku di dunia ini. Mungkin karena aku sudah begitu lelah.
Januar terdiam lama, wajahnya menunjukkan bahwa dia terkejut sama kata-kataku barusan. Lalu dia tersenyum sambil menatap mataku dalam-dalam. Terlalu dalam sampai aku merasa ditelanjangi olehnya, dan aku akhirnya memalingkan tatapanku ke arah lain. Pokoknya supaya kami tidak saling bertatapan.

“Aku hanya ingin kamu sehat. Aku hanya ingin kamu terus bisa tersenyum. Mungkin apa yang aku lakukan sama kamu ini berlebihan di mata kamu. Tapi aku gak pernah melihat orang lain selain kamu. Dan ya. Kalau itu mau kamu, aku akan pergi. Tapi aku mau tetap bisa mengawasi kamu. Meskipun kamu gak lihat aku.”

Januar pergi dari hadapanku. Meninggalkan sekotak nasi dan lauk pauk lengkap yang dia bawa dari rumahnya. Ada perasaan teriris ketika dia mengatakan itu padaku. Ada perasaan kesepian yang mendalam saat Januar menampakkan punggungnya dihadapanku. Apakah aku salah? Apakah aku terlalu kejam sama dia? Apakah dia layak mendapatkan itu semua dariku? Apa dia mengerti bahwa aku yang bermasalah dan bukan dia?
Aku mencoba untu berpura-pura tegar. Aku mencoba untuk gak memikirkan kejadian siang tadi. Tapi yang terjadi adalah kerjaanku gak selesai-selesai. Tugas kuliah laporan praktikum yang dari tadi kukerjakan gak pernah bertambah sehalamanpun sejak tadi Januar pergi. Aku pun telah menghabiskan makanan yang Jan berikan, tapi hatiku tidak juga tenang. Aku memutuskan untuk tidur. Mungkin aku bisa merasa lebih baik.
Beberapa menit berjalan, dan aku masih gelisah. Yang terjadi adalah adegan tadi siang berulang-ulang di kepalaku seperti film tanpa suara. Aku menyadari bahwa aku memang terlalu jahat kepadanya. Dan air mata pun menetes. Mulanya aku hanya meneteskan sedikit lalu menyekanya. Tapi tiba-tiba otakku ini tak terkontrol dan menampilkan flash back semua saat-saat aku bersama Jan. dari pertama kami kenal, bertemu, telpon, sms, pergi bersama. Lalu aku menangis sejadi-jadinya.

Telepon genggamku berbunyi.
Aku berusaha menstabilkan suaraku, tapi tidak bisa. Jadi aku tetap mengangkat telpon itu, dari nomor yang tidak kukenal.
“Halo selamat malam.”
“selamat malam”
“Apa betul ini dengan mbak Jingga?”
“Iya betul, ini dari siapa ya?”
“Saya Amira dari rumah sakit bumi pertiwi.”
Rumah sakit. Ada apa ini?
“Oh ya, ada apa ya?”
“Begini mbak, tadi telah terjadi kecelakaan di dekat pintu keluar tol rempoa. Dan korbannya dibawa semua kesini. Salah satunya adalah Januar Prapanca. Apa betul dia keluarga mbak? Karena kami hanya menemukan nomer telpon mbak di dompet pasien. Dan kami tidak bisa menghubungi siapa-siapa lagi.”
Astaga. TUHAN, ini mimpi kan?
“Yaampun. Bagaimana kondisi Januar? Rumah sakit ini alamatnya apa? Saya segera kesana.”
Suara di seberang telepon genggamku pun menjelaskan secara rinci alamat rumah sakitnya.
“Kondisi Januar kurang stabil, lebih baik mbak segera ke ruang ICU dan tolong beritahu seluruh keluarga yang harus diberitahu ya mbak.”
“baik suster. Terimakasih banyak ya suster.”
Jantungku berdetak keras sekali. Aku kaget setengah mati.

Selama perjalanan dari rumahku ke rumah sakit, aku terdiam. Aku tidak bisa menangis. Air mataku seperti kering. Ada sesuatu yang sangat sakit di dadaku, sangat perih. Aku tidak bisa berpikir apapun selain wajah Januar. Begitu sampai rumah sakit, aku bergegas menuju tangga dan menuju ruang ICU. Kakiku bergetar begitu aku melihat papan hijau bertuliskan ICU. Tiba-tiba aku berhenti. Aku ketakutan. Sekarang aku tidak mengerti perasaanku. Aku belum siap melihat Januar. Aku belum siap melihat orang yang sangat kuat dan enerjik itu terkulai lemah tak berdaya di atas kasur rumah sakit yang ringkih. Aku duduk di kursi ruang tunggu terdekat. Kepalaku pusing sekali, mungkin akibat tadi di rumah aku menangis terlalu banyak. Aku membuka tas kecil hitamku, dan mengambil telepon genggamku. Kubuka inboxnya. Kubaca pesan yang paling atas yang ada di dalamnya. Itu dari Januar.

Just make sure you eat that stuff. I dont want anything happens to you. You know that.

Ternyata air mataku masih tersisa. Aku meneteskannya ke pipiku. Dan film tanpa suara itu kembali lagi terputar di pikiranku, hari-hari dimana pertama kali aku bertemu Januar, hari-hari dimana kami pertama kali berkencan, hari-hari dimana dia membuatku bahagia, hari-hari dimana aku mulai muak padanya, hari-hari dimana aku kesal padanya, hari dimana aku mengusirnya.

“Lis, telpon dokter Agung sekarang juga. Pasien kita krisis. Amira, cepat telpon lagi keluarga pasien itu ini genting!!”
Tiba-tiba suara salah seorang suster mengagetkanku. Seketika aku berdiri dan terdiam memandang hectic nya suasana ruang ICU. Aku masih ketakutan. Telepon genggamku berdering lagi. Tapi aku sepertinya tau, siapa yang meneleponku.

Aku tidak menangkat teleponku, tapi aku berjalan ke meja suster yang kuduga sedang mencoba meneleponku.
“Maaf suster, apa pasien Januar Prapanca ada di dalam?’
Wanita mungil itu segera menutup teleponnya.
“Mba Jingga? Yaampun mba, kami sudah menunggu dari tadi.”
“Jadi begini mba, sekarang pasien sedang krisis, kami butuh tanda-tangan dari pihak keluarga untuk menyetujui mengenai tindakan apa yang akan rumah sakit ambil untuk pasien.”
“Tanda tangan? Tindakan? Mm..maksudnya gimana ya sus?”
“Pasien Januar ini merupakan pasien terparah dari kecelakaan mbak, bagian kepalanya terbentur keras sekali sehingga mengeluarkan banyak darah. Selain itu, ternyata kondisi jantungnya juga tidak baik mbak. Saya juga tidak bisa mengatakan banyak, tapi sepertinya Januar punya penyakit jantung bawaan karena detaknya tidak seperti detak jantung normal..............”
Hanya itu yang sanggup kudengar. Selanjutnya, aku tidak tau apa yang suster itu bicarakan. Jantung? Darah? Mengapa semua terjadi begitu tiba-tiba? Mengapa aku tidak pernah tau kalo Jan itu punya penyakit jantung. Aku hanya bisa menandatangani apa yang perlu kutandatangani. Aku tidak pernah tau dimana Jan tinggal. Aku tidak pernah tau siapa keluarganya. Aku sendirian. Kebingungan. Dan aku merasa aku tidak tau apa-apa.
Kondisi Jan sepertinya semakin memburuk. Teriakan-teriakan suster di ruang ICU itu membuatku berasumsi demikian. Aku melihat Jan dari balik kaca. Dari jarak sekitar 3 meter itu, aku menatap wajah dinginnya, wajah tak berdayanya. Aku tidak mengenalnya.

Januar Prapanca meninggal dunia. Dan kemarin adalah pemakamannya. Semua biaya rumah sakit dan pemakaman aku yang menanggung dari uang tabunganku yang seharusnya kugunakan untuk liburan ke London akhir tahun ini. Benda-benda yang melekat pada Jan semua kini kupegang. Jaket kulit coklatnya. Kemeja garis-garis birunya. Celana jeans hitamnya. Sepatu ketsnya. Telepon genggamnya. Dan dompetnya. Aku terdiam cukup lama di kursi. Memandangi seluruh barang-barang Jan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kubuka dompetnya disitu ada beberapa lembar uang 20ribuan, dan 50ribuan, serta seribuan. Ada beberapa kartu atm dan kartu member toko buku Cosmic Lights. Tidak ada KTP. Tidak ada SIM. Oh Tuhan, bagaimana ini? Aku tidak tahu dia. Siapa keluarganya. Dimana rumahnya. Astaga. Apa yang telah aku lakukan selama ini?

Aku putuskan ke toko buku CL. Ternyata keputusanku itu benar. Pemilik toko buku itu menyimpan data-data Jan. Kini, setelah menceritakan apa yang terjadi pada Jan kepada pemilik toko buku, aku akan ke rumahnya. Rumah Jan ternyata agak jauh dari rumahku. Lumayan satu setengah jam di perjalanan membuatku sedikit bisa memikirkan banyak hal, bahwa betapa Jan sungguh telah berkorban banyak jika dia ingin bertamu ke rumahku sementara aku malah tidak mengacuhkannya, mungkin aku pernah tidak mau menemuinya.

Rumah Jan tidak terlalu besar jika dilihat dari luar. Malah cenderung kecil. Tapi sepertinya cukup tertata rapi. Kubunyikan bel rumahnya. Menyiapkan diriku untuk menyampaikan berita terburuk untuk keluarga Jan. aku tidak suka bagian ini, aku bukan orang yang bisa membuat orang lain tenang. Berulang kali kupencet bel rumah Jan tapi tidak ada yang membuka pintunya.
Masa sih siang-siang sabtu begini tidak ada orang?
“Kakak cari Mas Jan ya?”
Jantungku hampir melompat. Suara anak kecil ini begitu mengagetkanku. Seingatku tadi tidak ada orang di sekitarku.
“Ah.. Bukan dek. Saya mau cari keluarganya Jan.”
Anak perempuan kecil itu melongo melihatku. Dia seperti melihat hantu. Aneh, bukannya harusnya aku yang memasang wajah shocked seperti dia ya?
“Eee.. dek? Dek.. Apa kamu tau orang-orang di rumah ini pada kemana ya? Saya pencetin bel nya tapi ga ada yang keluar.”
“Yaaaampuuuuuuunnn kakak Jinggaaa!!!!!!!! Kakak benar-benar manis seperti di foto.”
Dari mana bocah ini tau namaku?
“Kok kamu tau nama saya dek?”
“Yaiyalaaaah kak. Kakak tuh adalah satu-satunya cewek yang Mas Jan selalu ceritain. Selalu dibanggain. Katanya Mas Jan susaaaah bangett buat temenan sama kakak. Sekarang kakak di sini. Mas Jan pasti seneng banget.”
Aku termangu..sebegitunyakah aku dimata Jan?
“Hmmm, tapi udah 3 hari Mas Jan gak pulang Kak. Aku juga gatau Mas Jan kemana. Henponnya gak nyala. Hmm, tapi kalo kakak ada di sini. Mas Jan pasti akan segera pulang!!”
Aku menghela napas panjang.
“Emm, Jan tinggal sama siapa ya dek?”
“Sendirian. Mas Jan udah gak punya siapa-siapa lagi.. Oya, kenalin aku Puri.”
“Oh ya puri. Aku jingga. Kayaknya kamu udah tau kan.”
“Kakak mau masuk ke rumah Mas Jan? nunggu di rumah aja?”
“Ha? Kan rumahnya dikunci..”
“Aku tau kok kuncinya dimana. Sini aku tunjukkin.”
Beberapa menit kemudian aku dan Puri sudah berada di ruang tamu rumah Jan. aku masih belum bilang kenyataan yang sebenarnya pada Puri. Hatiku berkata, bahwa ini bukan saat yang tepat untuk bilang pada anak kecil yang lucu itu berita menyedihkan. Puri menceritakan tentang Jan. Aku malu, sepertinya anak kecil ini tau lebih banyak tentang Jan dibandingkan aku. Apa makanan favoritnya. Apa film yang bisa bikin Jan nangis. Apa binatang yang paling Jan sayangi.
“Kak Jingga. Sini deh, aku mau tunjukkin. Nah ini...”
Rasanya hatiku teriris. Melihat dinding kamar Jan penuh dengan foto-foto seorang wanita, dari berbagai posisi. Foto itu kuduga sudah diambil sejak lama. Diambil secara candid. Foto-foto tersebut indah sekali. Aku tidak pernah menyangka, bahwa aku akan kelihatan secantik itu di foto. Itu semua foto-fotoku.
“Dari semua ini, aku paling suka foto ini Kak. Kakak cantik sekali di sini. Waktu itu Mas Jan ngasih aku kesempatan buat ngasih judul fotonya. Aku kasih judul foto ini ‘pelangi’. Mas Jan suka sama judulnya.”
Aku termenung melihat foto yang ditunjuk oleh Puri. Itu adalah foto beberapa tahun lalu ketika aku diberi kejutan beberapa temanku saat ulang tahun. Saat itu aku sangat bahagia. Dan waktu itu teman-temanku banyak sekali yang memberiku kejutan. Dari mana Jan bisa mengambil gambarku seperti ini? Mengapa aku tidak pernah sadar.
“YAAAMPUNNNNN!!!!!”
“Astaga PURIII. Kamu bikin kakak kaget deh. Kenapa sih tiba-tiba teriak?”
“Yaampun kak. Maaf bangettttt. Aku harus pergi kak. Aku tuh tadi kan disuruh mama beli gula di warung. Eh malah jadinya kesini. Duh mama pasti marah ni. Aku pergi dulu ya kak. Dadaaaaah.”
Aku hanya terdiam melihat tingkah lucu anak itu. Lalu membiarkan dia pergi keluar rumah Jan. Membuatku bisa sedikit lebih menikmati secara private rumah Jan, terutama kamarnya. Banyak hal yang tidak pernah kuketahui tentang dia. Aku menyusuri kamarnya. Melihat-lihat mejanya. Buku apa saja yang dia punya. Beberapa dari bukunya adalah buku favoritku. Seperti buku The Godfather dan beberapa buku karangan Paulo Coelho. Aku duduk di atas tempat tidur ukuran singlenya. Mencoba merasakan sudut pandang Jan setiap dia berada di kamarnya. Melihat sekeliling kamar Jan yang dipenuhi oleh fotoku, membuatku merasa malu sendiri. Aku beranjak ke meja di seberang tempat tidur Jan. disitu terdapat beberapa kertas, lampu meja, beberapa buku tentang fotografi, kamera, dan ... sepertinya buku harian.
Hatiku meragu, tapi aku tetap mengambil buku itu. Aku berdebar. Tapi tetap saja kubuka buku itu.
‘Happiest Chapter of Life (i wish)’
Begitulah judul buku ini, ditulis Jan. Dan ditandatangani olehnya. Kubuka lembar demi lembar buku harian itu tanpa bermaksud membaca serius isinya. Kubuka terus sampai halaman terakhir yang dia tulis.
Itu adalah tanggal 4 hari yang lalu.

Hi jurnal of life. Entah kenapa, gue merasa ini adalah saat-saat terakhir gue bersama Jingga. Jingga semakin tidak nyaman dengan kehadiran gue. Begitupun gue yang tidak nyaman dengan sikap dia yang semakin kasar sama gue. Mungkin memang gue harus menghentikan ini semua. Setelah kehilangan hampir seluruh alasan gue untuk hidup. Kemudian tidak sengaja memotret Jingga di depan kampus dia saat itu. Lalu tiba-tiba berfirasat bahwa hidup gue akan berubah karena dia. Gue rasa, gue cuman berkhayal aja. Mungkin memang inilah nasib gue. Untuk selalu sendirian. Pernah mengenal Jingga. Pernah membuat dia tertawa. Itu adalah pengalaman yang paling manis yang pernah gue punya seumur hidup gue. Mungkin emang gue ga pernah kenal yang namanya kasih sayang orang tua ataupun keluarga. Tapi gue tahu apa yang gue rasain sama Jingga adalah kasih sayang yang murni dan tulus. Senyum jingga memang seperti pelangi. Seperti kata puri. Tapi kita semua tau, pelangi itu gak nyata. Pelangi itu ga akan selamanya muncul. Kepindahan gue ke Jakarta dan pertemuan gue dengan Jingga memang gue rasa adalah pelangi yang muncul saat berhentinya hujan panjang bertahun-tahun dalam hidup gue. Tapi, gak lama lagi, pelangi itu akan hilang seiring dengan menguatnya sinar matahari. Kadang gue capek banget sama hidup gue. Tapi melihat pelangi dalam hidup gue, entah kenapa gue lupa bahwa gue pernah menderita. Ahh Jingga.. seandainya lo bukan pelangi dalam hidup gue. Tapi matahari dalam hidup gue. Mungkin gue gak akan pernah kehilangan lo. Tapi gue penasaran sebenernya, apa iya Jingga ga pernah sedetik pun sayang ama gue? Menurut lo gimana?? Hahaha.

Sekarang aku adalah wanita paling cengeng sedunia. Aku menangis lagi. Kali ini terisak-isak. Aku sangat amat menyesal.
Memang penyesalan itu selalu datang terlambat. Aku hanya bisa berandai-andai..
Yaampun Jan..
Jika aku bisa mengulang waktu, maka aku pasti akan bisa mengenalmu lebih dalam lagi.
Dan mungkin aku akan bisa sangat menyayangimu.